Selasa, 30 April 2013

Sosiolinguistik : Variasi Sosial Pengguna Bahasa (Status Sosial, Gender dan Usia)


      Variasi Sosial Pengguna Bahasa (Status Sosial, Gender dan Usia)

Manusia merupakan makhluk individu dan makluk sosial. Sebagai makhluk sosial manusia perlu berinteraksi dengan manusia lain. Dalam interaksi, manusia menggunakan bahasa agar dapat menyampaikan apa yang mereka maksudkan. Menurut Kridalaksana (1994: 21) bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh  anggota suatu  masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri. Hal ini bisa dicermati bahwa bahasa merupakan unsur terpenting dalam sebuah komunikasi. Oleh sebab itu bahasa memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Interaksi dan komunikasi menjadi lebih mudah karena bahasa. Bahasa dapat dipergunakan untuk menyampaikan gagasan, ide, keinginan, perasan, atau pengalaman kepada orang lain. Seandainya tidak ada bahasa, komunikasi dan interaksi antar sesama manusia tidak akan mungkin berjalan atau terjadi dengan mudah dan hal ini yang menjadi pembeda dalam berkomunikasi pada makhluk lain. Hal tersebut, dapat dikatakan bahwa bahasa merupakan salah satu pembeda utama antara manusia dengan makluk lain di bumi ini. Komunikasi dan interaksi antar manusia terjadi sempurna dengan perantara bahasa. Dengan kata lain, manusia tidak dapat terlepas dari bahasa mengingat peran penting bahasa dalam berinteraksi dan berkomunikasi pada kehidupan manusia.
Keberadaan manusia dalam masyarakat sangat beragam baik agama, status sosial, pendidikan, pekerjaan, gender, usia dan sebagainya. Di samping itu, dalam menjalani kehidupannya manusia membentuk kelompok-kelompok kecil sesuai dengan kepentingannya. Dari pernyataan tersebut maka bahasa akan mempunyai variasi-variasi sesuai kelompok penuturnya. Kekhususan dalam masing-masing kelompok bisa ditandai oleh adanya penggunaan variasi bahasa yang digunakan dalam suatu interaksi oleh pemakainya (Kartomiharjo, 1988: 4). Variasi dalam masing-masing kelompok ini dikenal dengan ragam bahasa atau variasi bahasa.
Variasi bahasa disebabkan oleh adanya kegiatan interaksi sosial yang dilakukan oleh masyarakat atau kelompok yang sangat beragam dan disebabkan oleh para penuturnya yang tidak homogen. Dalam hal variasi bahasa ini ada dua pandangan, variasi itu dilihat sebagai akibat adanya keragaman sosial penutur bahasa itu dan keragaman fungsi bahasa itu. Jadi variasi bahasa itu terjadi sebagai akibat dari adanya keragaman sosial dan keragaman fungsi bahasa. Dalam makalah ini akan dijelaskan keragaman atau variasi sosial pengguna bahasa dalam segi status sosial, gender, dan usia.

A. Status Sosial
Variasi sosial pengguna bahasa yang pertama ditinjau dari segi status sosial. Jika kita membicarakan status sosial seseorang, tentu saja akan berkaitan dengan keberadaannya dalam suatu masyarakat. Oleh karena itu, perlu juga dipahami bahwa status sosial ini terdapat dalam kelas sosial. Sumarsono (2007: 43) menjelaskan bahwa kelas sosial (social class) mengacu pada golongan masyarakat yang mempunyai kesamaan tertentu dalam bidang kemasyarakatan seperti ekonomi, pekerjaan, pendidikan, kedudukan, kasta, dan sebagainya.
Seorang individu mungkin memiliki status sosial yang lebih dari yang lain. Sebagai contoh, seseorang, sebut saja A, adalah seorang bapak di keluarganya, yang juga berstatus sosial sebagai guru. Jika dia guru di sekolah negeri, dia juga masuk ke dalam kelas pegawai negeri. Jika dia seorang sarjana, dia dapat masuk kelas sosial golongan “terdidik”.  Kita juga mengenal kelas pegawai, kelas buruh, kelas pedagang, kelas petani, dan sebagainya.
Kasta biasanya dianggap sebagai salah satu jenis kelas sosial. Akan tetapi, menurut Sumarsono (2007: 44), ada satu hal yang dapat membedakan kasta dari kelas sosial yang lain, yaitu pada kasta orang tidak boleh seenaknya bebas memasuki golongan. Orang yang dilahirkan dari keluarga kasta brahmana pasti dan harus menjadi anggota kasta itu. Orang yang lahir dari keluarga kasta sudra tidak boleh masuk menjadi anggota kasta brahmana. Lain halnya dengan kelas sosial, seorang buruh pabrik karena ketekunan dan usahanya mampu naik kariernya, menjadi manajer misalnya, sehingga dia akan menjadi anggota kelas manajer. Jadi dapat disimpulkan bahwa kasta bersifat tertutup, sedangkan kelas sosial lain bersifat terbuka yang memungkinkan adanya mobilitas sosial, yaitu berpindahnya seseorang dari kelas ke kelas.
 Penelitian yang berperan penting dalam hubungan dengan kelas sosial, khususnya tentang lapisan sosial ini adalah penelitian yang dilakukan oleh William Labov. Penelitian Labov (1966) melalui Milroy dan Milroy (1998: 38) dan  Sumarsono (2007: 49) dilakukan untuk meneliti variasi bahasa dengan berbagai variasi kelas sosial di kota New York. Labov menggunakan 340 orang sebagai sampel yang dipilih secara acak (random sampling). Labov dapat membuktikan bahwa seorang individu dari kelas sosial tertentu, umur tertentu, jenis kelamin tertentu akan menggunakan variasi bentuk bahasa tertentu; sehingga dengan cara ini kita sekarang dapat membuat korelasi antara ciri-ciri kebahasaan (linguistik)  dengan kelas sosial.
         Labov (Brown & Attardo, 2000: 102) berhipotesis bahwa penutur memiliki perbedan frekuensi dalam menggunakan bentuk-bentuk prestige suatu bahasa berdasarkan latar belakang kelas sosial. Menurut Brown dan Attardo (2000: 103), hipotesis yang dikemukakan oleh Labov tersebut terbukti benar, yaitu bahwa kelas sosial memiliki dampak pada penggunaan bentuk-bentuk prestige suatu bahasa.
   Salah satu contoh penelitian tentang hubuangan kelas sosial dengan ragam baku dilakukan di Detroit (AS) dan Norwich (Inggris) dengan menggunakan berbagai tingkat kelas sosial sebagai informannya. Hasilnya, semakin rendah kelas sosial seseorang, semakin banyak pemakaian bentuk nonbaku dari suatu bahasa.

                                B. Akrolek, Basilek, Mesolek
                  Bahasa Inggris merupakan bahasa yang tersebar luas di dunia dan dipakai sebagai lingua franca atau bahasa pengantar, dan bahasa komunikasi antarbangsa. Menurut Sumarsono (2007: 145), kita dapat menyebut pidgin sebagai salah satu jenis lingua franca karena fungsi sosialnya sama dengan lingua franca. Menurut Brown dan Attardo (2000: 114), pidgin merupakan sebuah bahasa yang muncul sebagai hasil interaksi antara dua kelompok yang berbicara dengan bahasa yang berbeda dan tidak mengerti apa yang dibicarakan satu sama lain, sehingga mereka menggunakan apa yang dinamakan dengan pidgin ini untuk berkomunikasi. Pidgin tidak memiliki penutur asli. Misalnya, pedagang asongan di kawasan Tanah Lot bertutur dengan wisatawan asing dalam bahasa Inggris pidgin. Bahasa Inggris digunakan sebagai dasar dan lafalnya disesuaikan dengan lidah Indonesia, contohnya peri cip (very cheap), paip (five), masas (massage), tosen (thousand), dan sebagainya.
   Pada suatu saat, pidgin bisa memiliki penutur asli. Jika pidgin sudah memiliki penutur asli, maka ia tidak lagi disebut pidgin, melainkan creole. Sejalan dengan penjelasan ini, Brown dan Attardo (2000: 117) menjelaskan bahwa pidgin dipakai pada situasi tertentu. Jika pidgin tidak berguna lagi, maka dia akan hilang. Sebaliknya, jika pidgin bermanfaat, maka dia akan menjadi lingua franca dan pada prosesnya akan menjadi bahasa natif dan pada akhirnya menjadi creole (mother tongue).
   Berkaitan dengan materi creole, ada beberapa istilah yang disampaikan oleh Bickerton. Bickerton (1975) melalui Wardhaugh (2006: 80) menyebutkan sejumlah istilah yang digunakan untuk merujuk bagian berbeda pada kontinum creole yang ada pada bahasa Inggris yang dipakai orang Guyana. Bickerton menggunakan istilah “akrolek” untuk merujuk bahasa Inggris yang digunakan orang Guyana yang terpelajar, sebuah variasi bahasa Inggris yang memiliki sedikit perbedaan dengan variasi-variasi bahasa Inggris standar. Dia juga menggunakan istilah “basilek” untuk merujuk variasi yang sedikit dapat dipahami oleh orang yang berbicara bahasa Inggris standar, dan mungkin bahkan tidak dapat dipahami. Selanjutnya adalah istilah “mesolek” yang dipakai untuk merujuk pada variasi intermediet yang memiliki karakteristik penting yaitu mengkombinasikan basilek dan akrolek untuk mengisi space antara akrolek dan basilek.
  Untuk memperjelas pengertian di atas, Bickerton (Wardhaugh, 2006: 80-81) mengambil contoh dari Allsopp (1958) untuk menunjukkan bagaimana variasi dari bahasa Inggris standar orang Guyana pada kalimat “I told him”:
  1.                  ai tↄuld hi
  2.               ai to:ld him
  3.         ai to:l him
  4.          ai tel im
  5.          a tel im
  6.          ai tel i
  7.          a tel i.
  8.         mi tel i
  9.        mi tel am


                 Variasi 1-3 merupakan contoh penggunaan pada kelas menengah dan merupakan bentuk “akrolek”. Variasi selanjutnya yaitu nomor 4-7 adalah bentuk “mesolek” dan ditemukan pada kelas menengah-bawah dan kelas pekerja-urban. Variasi nomor 8 ditemukan pada kelas pekerja-pinggiran, dan nomor 9 digunakan oleh orang tua dan buruh yang berada di daerah pingiran yang tidak dapat membaca dan menulis. Variasi nomor 8 dan 9 merupakan bentuk “basilek”.

            C. Gender
                Variasi sosial pengguna bahasa selanjutnya adalah berdasarkan gender seseorang. Gender merupakan sesuatu yang tidak dapat diabaikan sebab hal ini berkaitan dengan cara masyarakat untuk berkomunikasi. Kemudian apakah laki-laki dan perempuan yang berbicara bahasa tertentu menggunakan bahasa itu dengan cara yang berbeda?
Perbedaan utama dari seorang laki-laki dan perempuan adalah berdasarkan aspek biologis. Perempuan memiliki dua kromosom X, sedangkan laki-laki memiliki satu kromosom X dan satu kromosom Y; hal ini merupakan inti perbedaan secara genetik. Selain itu, perempuan lebih banyak memiliki lemak dan memilki otot lebih sedikit dari laki-laki, tidak sekuat laki-laki dan tidak seberat laki-laki. Suara perempuan juga memiliki karakteristik yang berbeda dengan suara laki-laki.
Ada beberapa klaim yang dikemukakan Wardhaugh (2006: 326-328) berkaitan dengan gender dan variasi bahasa. Klaim yang pertama menyebutkan bahwa secara biologis laki-laki dan perempuan berbeda dan perbedaan ini memiliki konsekuensi yang serius pada gender. Perempuan biasanya memiliki karakter non-kompetitif dan mementingkan hubungan/relasi dengan orang lain. Di sisi lain, laki-laki cenderung mengutamakan kemandirian dan hubungannya dengan Tuhan (vertical relationship) daripada hubungannya dengan manusia (horizontal relationship). Namun, Wardhaugh (2006: 327) berargumen bahwa hanya sedikit atau bahkan tidak ada bukti yang mendukung klaim ini dan cenderung seperti stereotype.
Klaim kedua adalah bahwa organisasi sosial diasumsikan sebagai hubungan kekuatan (power relationship). Wardhaugh (2006: 327) menyampaikan bahwa tingkah laku bahasa menunjukkan dominasi laki-laki. Laki-laki menggunakan kekuatannya untuk mendominasi. Laki-laki mencoba mengambil kontrol, menginterupsi, memilah-milah topik, dan sebagainya. Mereka menggunakan hal tersebut dalam hubungannya dengan sesama lelaki maupun dengan perempuan. Sebagai konsekuensi, perempuan lebih teliti dalam menggunakan bentuk-bentuk bahasa yang prestigious untuk menjaga dirinya dalam hubungannya dengan orang yang lebih kuat karena perempuan relatif memiliki kekuatan yang lebih lemah daripada laki-laki. Selain itu, Wardhaugh (2006: 327) juga menjelaskan bahwa perempuan cenderung memiliki jaringan sosial kurang dari yang dimiliki oleh laki-laki, namun perempuan memiliki sensitivitas lebih besar pada bentuk-bentuk bahasa, khususnya pada bentuk bahasa standar.
Klaim yang ketiga adalah bahwa laki-laki dan perempuan adalah makhluk sosial yang harus belajar untuk bertindak dengan cara tertentu. Wardhaugh (2006: 327) menjelaskan bahwa tingkah laku bahasa dipelajari dari tingkah laku. Laki-laki belajar untuk menjadi laki-laki dan perempuan belajar untuk menjadi perempuan, yaitu berbicara secara linguistik. Masyarakat menunjukkan pada mereka tentang berbagai pengalaman hidup yang berbeda-beda sehingga mereka dapat belajar dari pengalaman itu.
Maltz dan Borker (1982) melalui Wardhaugh (2006: 327-328) memberikan sebuah contoh berkaitan dengan klaim ketiga di atas, yaitu pada orang Amerika Utara di mana laki-laki dan perempuan yang berasal dari budaya sosiolinguistik yang berbeda melakukan komunikasi. Pada akhirnya, dimungkinkan untuk terjadi miscommunication. Lebih lanjut Maltz dan Borker menjelaskan bahwa mhmm yang digunakan oleh perempuan berarti “Saya mendengarkan,” di sisi lain mhmm yang diucapkan laki-laki mengandung arti “Saya setuju.” Sebagai konsekuensi, laki-laki menganggap bahwa perempuan selalu setuju dengan mereka dan mereka menyimpulkan bahwa adalah mustahil untuk memberitahu apa yang sedang dipikirkan oleh perempuan. Di sisi lain, perempuan bisa sampai marah disebabkan karena mereka menganggap bahwa laki-laki cenderung tidak pernah mau mendengarkan.
Berdasarkan contoh Maltz dan Borker di atas, dapat disimpulkan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki aturan masing-masing dalam berkomunikasi dan pada komunikasi antar-gender aturan-aturan tersebut biasanya akan terjadi ketidaksepahaman.
Menurut Sumarsono (2007: 113) keragaman bahasa berdasarkan jenis kelamin timbul karena bahasa sebagai gejala sosial erat hubungannya dengan sikap sosial. Secara sosial pria dan wanita berbeda karena masyarakat menentukan peranan sosial yang berbeda untuk mereka, dan masyarakat mengaharapkan pola tingkah laku yang berbeda. Kenyataan sosial ini dicerminkan melalui bahasa. Tutur perempuan bukan hanya berbeda, melainkan juga lebih  “benar”. Menurut Sumarsono (2007: 113) fenomena tersebut merupakan pencerminan kenyataan sosial, pada umumnya dari pihak perempuan diharapkan tingkah laku sosial yang lebih benar.Selain itu, karakteristik perempuan dalam berbahasa adalah wanita cenderung bersifat androgini (mendua). Menurut Elyan (Sumarsono, 2007: 127), perempuan-perempuan di kota besar cenderung mendua; mereka ingin maju dan kuat (perkasa) seperti laki-laki, namun tidak mau kehilangan kefemininan. Di sampig itu, perempuan-perempuan yang berkarier (wanita karier), yang memiliki status tinggi di luar rumah; mereka ingin berkarya sejajar dengan pria, tetapi tetap ingin sebagai ibu dan istri yang ideal.
Satu hal yang belum dibicarakan ialah kelompok orang berjenis kelamin “khusus”, yaitu yang sering disebut waria (banci) dan gay. Dede Oetomo (Sumarsono, 2007: 130) menyebutkan bahwa bahasa waria atau wadam (wanita Adam) tersebut termasuk “bahasa rahasia”. Dede meneliti waria dan gay di Surabaya dan menyimpulkan bahwa waria biasanya merupakan kelas “bawah”, yang memiliki orientsi lebih banyak ke bahasa Jawa daripada bahasa Indonesia. Di lain pihak, gay berasal dari golongan kelas menengah di kota, dan orientasinya pada bahasa Indonesia . Akan tetapi, kaum gay juga menggunakan bahasa Jawa. Oleh karena itu, menurut Dede, gay itu dwibahasawan.

              D. Usia
           Usia merupakan variasi sosial  pengguna bahasa yang membedakan kelompok manusia. Dalam kelompok ini manusia dkelompokkan menjadi tiga, yakni kelompok kanak-kanak, kelompok remaja, dan kelompok dewasa. 
1.    Kelompok anak-anak
 Kanak-kanak adalah usia yang paling tepat untuk mengembangkan bahasa. Karena pada masa ini sering disebut masa “golden age” dimana anak sangat peka mendapatkan rangsangan-rangsangan baik yang berkaitan dengan aspek fisik motorik, intelektual, sosial, emosi maupun bahasa. Menurut Sumarsono (2007:137), anak mulai belajar berbicara pada usia kurang lebih 18 bulan, sehingga seorang anak dapat dikatakan dapat menguasai tata bahasa ketika dia berusia kurang lebih tiga setengah tahun. Pada masa perkembangan bahasa anak-anak ini mempunyai ciri penyusutan (reduksi). Dalam hal ini tata bahasa atau pengetahuan bahasa anak yang terdiri dari tiga komponen, yakni: fonologi, sintaksis dan semantik.
  1.     Fonologi merupakan bunyi-bunyi bahasa sebagai satuan terkecil dari ujaran beserta dengan “gabungan” antarbunyi yang membentuk silabel atau suku kata, seperti: memanggil kata “mama”, “bu” “Susu” menjadi “cucu”            

  2.  Sintaksis adalah  ilmu yang membahas tentang bagaimana menggabungkan kata dalam bentuk kalimat. Dalam hal ini anak memulai berbahasa dengan mengucapkan satu kata (atau bagian kata). Kata ini, bagi anak sebenarnya adalah kalimat penuh, tetapi karena dia belum dapat mengatakan lebih dari satu kata, dia hanya mengambil satu kata dari seluruh kalimat. Seperti: “Ma, pis” (seorang anak ingin mengatakan  kepada mamanya kalau dia ingin buang air kecil.
3.  Semantik adalah ilmu yang membahas tentang arti suatu kata. Dalam hal ini adalah arti kata yang diucapkan oleh seorang anak. seperti: “Mama uwah” (seorang anak ingin mengatakan kepada ibunya kalau makanannya pedas).

2.    Kelompok remaja
         Masa remaja merupakan masa yang paling menarik dan paling mengesankan. Masa remaja identik dengan pencarian jati diri, petualangan, dan kenakalan. Ciri-ciri tersebut juga tercermin dalam bahasa mereka. Keinginan untuk membuat kelompok eksklusif menyebabkan mereka menciptakan bahasa yang hanya berlaku bagi kelompok mereka. 
          Menurut Sumarsono (2007: 153), salah satu tutur remaja yang khas dan muncul di Jakarta adalah apa yang disebut bahasa prokem. Meskipun bahasa prokem itu sekarang dikatakan menjadi milik remaja di Jakarta, pencipta aslinya adalah kaum pencoleng, pencopet, bandit, dan sebangsanya; yang sekarang dikenal dengan istilah preman. Beberapa contoh kosakata dari bahasa prokem itu, antara lain amsyong (celaka, hancur); gout atau ogut (saya); ji (kamu).

3.    Kelompok dewasa
         Masa dewasa merupakan salah satu fase dalam rentang kehidupan individu setelah masa remaja,   
     yang mana biasanya pada masa ini merupakan puncak pertumbuhan fisik yang prima, sehingga dapat dianggap sebagai usia yang tersehat dari populasi manusia secara keseluruhan. Pada masa ini individu mampu berpikir demokratis, bijaksana, dan bertanggungjawab
        Hal ini sesuai dengan penelitian Yayah melalui Sumarsono (2007:161) yang mana meneliti seorang guru bahasa Indonesia di Jakarta yang berusia dibawah  dan diatas 30 tahun. Dimana hasil dari penelitian tersebut, guru yang berusia diatas 30 tahun mempunyai sikap yang positif daripada gru yang berusia dibawah 30 tahun.
        Senada dengan penelitian diatas, Yenny melalui Sumarsono (2007 162) yang meneliti penggunaan bahasa sehari-hari dirumah pada masyarakat Jawa di Jakarta yang berusia diatas dan dibawah 50 tahun, yang mana hasil penelitian tersebut masyarakat Jawa yang berusia diatas 50 tahun cenderung memakai bahasa Jawa untuk digunakan sebagai bahasa sehari-hari dirumah dari pada yang berusia dibawah 50 tahun.

          Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan:

1.   Status sosial memiliki dampak pada penggunaan bentuk-bentuk prestige suatu bahasa. Semakin rendah kelas sosial seseorang, semakin banyak pemakaian bentuk nonbaku dari suatu bahasa.

2. Ada tiga istilah untuk menyebut bagian-bagian pada kontinum creole, yaitu akrolek, basilek, dan mesolek.

3. Laki-laki dan perempuan memiliki cara berbeda dalam berbahasa.

4. Variasi pengguna bahasa ditinjau dari segi usia dapat dilihat dari rentang kanak-kanak, remaja, dan dewasa.

DAFTAR PUSTAKA


Brown, S. & Attardo, S. 2000.Understanding Language Structure, Interaction, and Variation. An Introduction to Applied Linguistics and Sociolinguistics for Nonspecialists. Michigan: The University of Michigan Press.

Kartomihardjo, Suseno. 1988. Bahasa Cermin Kehidupan Masyarakat. Jakarta: P2LPTK.

Kridalaksana, Harimurti. 2001. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia

Milroy, J. & Milroy, L. 1998. The Handbook of Sociolinguistics. Ed. Florian Coulmas. Blackwell Reference Online.


Ratnaningsih, E. & Ulul, A. 2013. Variasi Sosial Pengguna Bahasa (Status Sosial, Gender dan Usia). Yogyakarta: UNY

Sumarsono. 2007. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Sabda dan Pustaka Pelajar.

Wardhaugh, Ronald. 2006. An Introduction to Sociolinguistics. New York: Basil Blackwell Inc.



















     

        











Tidak ada komentar:

Posting Komentar