Variasi Sosial Pengguna Bahasa (Status Sosial, Gender dan Usia)
Manusia merupakan makhluk individu dan makluk
sosial. Sebagai makhluk sosial manusia perlu berinteraksi dengan manusia lain.
Dalam interaksi, manusia menggunakan bahasa agar dapat menyampaikan apa yang
mereka maksudkan. Menurut Kridalaksana (1994: 21) bahasa adalah sistem lambang
bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh
anggota suatu masyarakat untuk
bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri. Hal ini bisa
dicermati bahwa bahasa merupakan unsur terpenting dalam sebuah komunikasi. Oleh sebab itu bahasa memegang peranan penting dalam kehidupan
masyarakat. Interaksi dan komunikasi menjadi lebih mudah karena bahasa. Bahasa
dapat dipergunakan untuk menyampaikan gagasan, ide, keinginan, perasan, atau
pengalaman kepada orang lain. Seandainya tidak ada bahasa, komunikasi dan
interaksi antar sesama manusia tidak akan mungkin berjalan atau terjadi dengan
mudah dan hal ini yang menjadi pembeda dalam berkomunikasi pada makhluk lain.
Hal tersebut, dapat dikatakan bahwa bahasa merupakan salah satu pembeda utama
antara manusia dengan makluk lain di bumi ini. Komunikasi dan interaksi antar
manusia terjadi sempurna dengan perantara bahasa. Dengan kata lain, manusia
tidak dapat terlepas dari bahasa mengingat peran penting bahasa dalam
berinteraksi dan berkomunikasi pada kehidupan manusia.
Keberadaan manusia dalam masyarakat sangat
beragam baik agama, status sosial, pendidikan, pekerjaan, gender, usia dan
sebagainya. Di samping itu, dalam menjalani kehidupannya manusia membentuk
kelompok-kelompok kecil sesuai dengan kepentingannya. Dari pernyataan tersebut
maka bahasa akan mempunyai variasi-variasi sesuai kelompok penuturnya.
Kekhususan dalam masing-masing kelompok bisa ditandai oleh adanya penggunaan
variasi bahasa yang digunakan dalam suatu interaksi oleh pemakainya
(Kartomiharjo, 1988: 4). Variasi dalam masing-masing kelompok ini dikenal
dengan ragam bahasa atau variasi bahasa.
Variasi bahasa disebabkan oleh adanya kegiatan
interaksi sosial yang dilakukan oleh masyarakat atau kelompok yang sangat
beragam dan disebabkan oleh para penuturnya yang tidak homogen. Dalam hal variasi
bahasa ini ada dua pandangan, variasi itu dilihat sebagai akibat adanya
keragaman sosial penutur bahasa itu dan keragaman fungsi bahasa itu. Jadi
variasi bahasa itu terjadi sebagai akibat dari adanya keragaman sosial dan
keragaman fungsi bahasa. Dalam
makalah ini akan dijelaskan keragaman atau variasi sosial pengguna bahasa dalam
segi status sosial, gender, dan usia.
A. Status Sosial
Variasi sosial pengguna bahasa yang pertama ditinjau dari
segi status sosial. Jika kita membicarakan status sosial seseorang, tentu saja
akan berkaitan dengan keberadaannya dalam suatu masyarakat. Oleh karena itu,
perlu juga dipahami bahwa status sosial ini terdapat dalam kelas sosial. Sumarsono
(2007: 43) menjelaskan bahwa kelas sosial (social
class) mengacu pada golongan masyarakat yang mempunyai kesamaan tertentu
dalam bidang kemasyarakatan seperti ekonomi, pekerjaan, pendidikan, kedudukan,
kasta, dan sebagainya.
Seorang individu mungkin memiliki status sosial yang
lebih dari yang lain. Sebagai contoh, seseorang, sebut saja A, adalah seorang
bapak di keluarganya, yang juga berstatus sosial sebagai guru. Jika dia guru di
sekolah negeri, dia juga masuk ke dalam kelas pegawai negeri. Jika dia seorang
sarjana, dia dapat masuk kelas sosial golongan “terdidik”. Kita juga mengenal kelas pegawai, kelas buruh,
kelas pedagang, kelas petani, dan sebagainya.
Kasta biasanya dianggap sebagai salah satu jenis kelas
sosial. Akan tetapi, menurut Sumarsono (2007: 44), ada satu hal yang dapat membedakan
kasta dari kelas sosial yang lain, yaitu pada kasta orang tidak boleh seenaknya
bebas memasuki golongan. Orang yang dilahirkan dari keluarga kasta brahmana
pasti dan harus menjadi anggota kasta itu. Orang yang lahir dari keluarga kasta
sudra tidak boleh masuk menjadi anggota kasta brahmana. Lain halnya dengan
kelas sosial, seorang buruh pabrik karena ketekunan dan usahanya mampu naik
kariernya, menjadi manajer misalnya, sehingga dia akan menjadi anggota kelas
manajer. Jadi dapat disimpulkan bahwa kasta bersifat tertutup, sedangkan kelas
sosial lain bersifat terbuka yang memungkinkan adanya mobilitas sosial, yaitu
berpindahnya seseorang dari kelas ke kelas.
Penelitian yang berperan penting dalam hubungan dengan
kelas sosial, khususnya tentang lapisan sosial ini adalah penelitian yang
dilakukan oleh William Labov. Penelitian Labov (1966) melalui Milroy dan Milroy
(1998: 38) dan Sumarsono (2007: 49)
dilakukan untuk meneliti variasi bahasa dengan berbagai variasi kelas sosial di
kota New York. Labov menggunakan 340 orang sebagai sampel yang dipilih secara
acak (random sampling). Labov dapat
membuktikan bahwa seorang individu dari kelas sosial tertentu, umur tertentu,
jenis kelamin tertentu akan menggunakan variasi bentuk bahasa tertentu;
sehingga dengan cara ini kita sekarang dapat membuat korelasi antara ciri-ciri
kebahasaan (linguistik) dengan kelas
sosial.
Labov
(Brown & Attardo, 2000: 102) berhipotesis bahwa penutur memiliki perbedan
frekuensi dalam menggunakan bentuk-bentuk prestige
suatu bahasa berdasarkan latar belakang kelas sosial. Menurut Brown dan Attardo
(2000: 103), hipotesis yang dikemukakan oleh Labov tersebut terbukti benar,
yaitu bahwa kelas sosial memiliki dampak pada penggunaan bentuk-bentuk prestige suatu bahasa.
Salah satu contoh
penelitian tentang hubuangan kelas sosial dengan ragam baku dilakukan di
Detroit (AS) dan Norwich (Inggris) dengan menggunakan berbagai tingkat kelas
sosial sebagai informannya. Hasilnya, semakin rendah kelas sosial seseorang,
semakin banyak pemakaian bentuk nonbaku dari suatu bahasa.
B. Akrolek, Basilek, Mesolek
Bahasa
Inggris merupakan bahasa yang tersebar luas di dunia dan dipakai sebagai lingua franca atau bahasa pengantar, dan
bahasa komunikasi antarbangsa. Menurut Sumarsono (2007: 145), kita dapat
menyebut pidgin sebagai salah satu
jenis lingua franca karena fungsi
sosialnya sama dengan lingua franca.
Menurut Brown dan Attardo (2000: 114), pidgin
merupakan sebuah bahasa yang muncul sebagai hasil interaksi antara dua kelompok
yang berbicara dengan bahasa yang berbeda dan tidak mengerti apa yang
dibicarakan satu sama lain, sehingga mereka menggunakan apa yang dinamakan
dengan pidgin ini untuk
berkomunikasi. Pidgin tidak memiliki
penutur asli. Misalnya, pedagang asongan di kawasan Tanah Lot bertutur dengan
wisatawan asing dalam bahasa Inggris pidgin.
Bahasa Inggris digunakan sebagai dasar dan lafalnya disesuaikan dengan lidah
Indonesia, contohnya peri cip (very
cheap), paip (five), masas (massage), tosen (thousand), dan sebagainya.
Pada
suatu saat, pidgin bisa memiliki
penutur asli. Jika pidgin sudah
memiliki penutur asli, maka ia tidak lagi disebut pidgin, melainkan creole.
Sejalan dengan penjelasan ini, Brown dan Attardo (2000: 117) menjelaskan bahwa pidgin dipakai pada situasi tertentu.
Jika pidgin tidak berguna lagi, maka
dia akan hilang. Sebaliknya, jika pidgin
bermanfaat, maka dia akan menjadi lingua
franca dan pada prosesnya akan menjadi bahasa natif dan pada akhirnya
menjadi creole (mother tongue).
Berkaitan
dengan materi creole, ada beberapa
istilah yang disampaikan oleh Bickerton. Bickerton (1975) melalui Wardhaugh
(2006: 80) menyebutkan sejumlah istilah yang digunakan untuk merujuk bagian
berbeda pada kontinum creole yang ada
pada bahasa Inggris yang dipakai orang Guyana. Bickerton menggunakan istilah
“akrolek” untuk merujuk bahasa Inggris yang digunakan orang Guyana yang
terpelajar, sebuah variasi bahasa Inggris yang memiliki sedikit perbedaan
dengan variasi-variasi bahasa Inggris standar. Dia juga menggunakan istilah
“basilek” untuk merujuk variasi yang sedikit dapat dipahami oleh orang yang
berbicara bahasa Inggris standar, dan mungkin bahkan tidak dapat dipahami.
Selanjutnya adalah istilah “mesolek” yang dipakai untuk merujuk pada variasi
intermediet yang memiliki karakteristik penting yaitu mengkombinasikan basilek
dan akrolek untuk mengisi space antara
akrolek dan basilek.
Untuk
memperjelas pengertian di atas, Bickerton (Wardhaugh, 2006: 80-81) mengambil
contoh dari Allsopp (1958) untuk menunjukkan bagaimana variasi dari bahasa
Inggris standar orang Guyana pada kalimat “I
told him”:
- ai tↄuld hi
- ai to:ld him
- ai to:l him
- ai tel im
- a tel im
- ai tel i
- a tel i.
- mi tel i
- mi tel am
Variasi 1-3
merupakan contoh penggunaan pada kelas menengah dan merupakan bentuk “akrolek”. Variasi selanjutnya yaitu nomor 4-7 adalah bentuk “mesolek” dan ditemukan pada
kelas menengah-bawah dan kelas pekerja-urban. Variasi nomor 8 ditemukan pada
kelas pekerja-pinggiran, dan nomor 9 digunakan oleh orang tua dan buruh yang
berada di daerah pingiran yang tidak dapat membaca dan menulis. Variasi nomor 8
dan 9 merupakan bentuk “basilek”.
C. Gender
Variasi
sosial pengguna bahasa selanjutnya adalah berdasarkan gender seseorang. Gender
merupakan sesuatu yang tidak dapat diabaikan sebab hal ini berkaitan dengan
cara masyarakat untuk berkomunikasi. Kemudian apakah laki-laki dan perempuan
yang berbicara bahasa tertentu menggunakan bahasa itu dengan cara yang berbeda?
Perbedaan
utama dari seorang laki-laki dan perempuan adalah berdasarkan aspek biologis.
Perempuan memiliki dua kromosom X, sedangkan laki-laki memiliki satu kromosom X
dan satu kromosom Y; hal ini merupakan inti perbedaan secara genetik. Selain
itu, perempuan lebih banyak memiliki lemak dan memilki otot lebih sedikit dari
laki-laki, tidak sekuat laki-laki dan tidak seberat laki-laki. Suara perempuan
juga memiliki karakteristik yang berbeda dengan suara laki-laki.
Ada
beberapa klaim yang dikemukakan Wardhaugh (2006: 326-328) berkaitan dengan
gender dan variasi bahasa. Klaim yang pertama menyebutkan bahwa secara biologis
laki-laki dan perempuan berbeda dan perbedaan ini memiliki konsekuensi yang serius
pada gender. Perempuan biasanya memiliki karakter non-kompetitif dan
mementingkan hubungan/relasi dengan orang lain. Di sisi lain, laki-laki
cenderung mengutamakan kemandirian dan hubungannya dengan Tuhan (vertical relationship) daripada
hubungannya dengan manusia (horizontal
relationship). Namun, Wardhaugh (2006: 327) berargumen bahwa hanya sedikit
atau bahkan tidak ada bukti yang mendukung klaim ini dan cenderung seperti stereotype.
Klaim
kedua adalah bahwa organisasi sosial diasumsikan sebagai hubungan kekuatan (power relationship). Wardhaugh (2006:
327) menyampaikan bahwa tingkah laku bahasa menunjukkan dominasi laki-laki.
Laki-laki menggunakan kekuatannya untuk mendominasi. Laki-laki mencoba
mengambil kontrol, menginterupsi, memilah-milah topik, dan sebagainya. Mereka
menggunakan hal tersebut dalam hubungannya dengan sesama lelaki maupun dengan
perempuan. Sebagai konsekuensi, perempuan lebih teliti dalam menggunakan
bentuk-bentuk bahasa yang prestigious
untuk menjaga dirinya dalam hubungannya dengan orang yang lebih kuat karena
perempuan relatif memiliki kekuatan yang lebih lemah daripada laki-laki. Selain
itu, Wardhaugh (2006: 327) juga menjelaskan bahwa perempuan cenderung memiliki
jaringan sosial kurang dari yang dimiliki oleh laki-laki, namun perempuan
memiliki sensitivitas lebih besar pada bentuk-bentuk bahasa, khususnya pada
bentuk bahasa standar.
Klaim
yang ketiga adalah bahwa laki-laki dan perempuan adalah makhluk sosial yang
harus belajar untuk bertindak dengan cara tertentu. Wardhaugh (2006: 327)
menjelaskan bahwa tingkah laku bahasa dipelajari dari tingkah laku. Laki-laki
belajar untuk menjadi laki-laki dan perempuan belajar untuk menjadi perempuan,
yaitu berbicara secara linguistik. Masyarakat menunjukkan pada mereka tentang
berbagai pengalaman hidup yang berbeda-beda sehingga mereka dapat belajar dari
pengalaman itu.
Maltz
dan Borker (1982) melalui Wardhaugh (2006: 327-328) memberikan sebuah contoh
berkaitan dengan klaim ketiga di atas, yaitu pada orang Amerika Utara di mana
laki-laki dan perempuan yang berasal dari budaya sosiolinguistik yang berbeda
melakukan komunikasi. Pada akhirnya, dimungkinkan untuk terjadi miscommunication. Lebih lanjut Maltz dan
Borker menjelaskan bahwa mhmm yang
digunakan oleh perempuan berarti “Saya mendengarkan,” di sisi lain mhmm yang diucapkan laki-laki mengandung
arti “Saya setuju.” Sebagai konsekuensi, laki-laki menganggap bahwa perempuan
selalu setuju dengan mereka dan mereka menyimpulkan bahwa adalah mustahil untuk
memberitahu apa yang sedang dipikirkan oleh perempuan. Di sisi lain, perempuan
bisa sampai marah disebabkan karena mereka menganggap bahwa laki-laki cenderung
tidak pernah mau mendengarkan.
Berdasarkan
contoh Maltz dan Borker di atas, dapat disimpulkan bahwa laki-laki dan
perempuan memiliki aturan masing-masing dalam berkomunikasi dan pada komunikasi
antar-gender aturan-aturan tersebut biasanya akan terjadi ketidaksepahaman.
Menurut
Sumarsono (2007: 113) keragaman bahasa berdasarkan jenis kelamin timbul karena
bahasa sebagai gejala sosial erat hubungannya dengan sikap sosial. Secara
sosial pria dan wanita berbeda karena masyarakat menentukan peranan sosial yang
berbeda untuk mereka, dan masyarakat mengaharapkan pola tingkah laku yang
berbeda. Kenyataan sosial ini dicerminkan melalui bahasa. Tutur perempuan bukan
hanya berbeda, melainkan juga lebih
“benar”. Menurut Sumarsono (2007: 113) fenomena tersebut merupakan
pencerminan kenyataan sosial, pada umumnya dari pihak perempuan diharapkan
tingkah laku sosial yang lebih benar. Selain
itu, karakteristik perempuan dalam berbahasa adalah wanita cenderung bersifat androgini (mendua). Menurut Elyan
(Sumarsono, 2007: 127), perempuan-perempuan di kota besar cenderung mendua;
mereka ingin maju dan kuat (perkasa) seperti laki-laki, namun tidak mau
kehilangan kefemininan. Di sampig itu, perempuan-perempuan yang berkarier
(wanita karier), yang memiliki status tinggi di luar rumah; mereka ingin
berkarya sejajar dengan pria, tetapi tetap ingin sebagai ibu dan istri yang
ideal.
Satu
hal yang belum dibicarakan ialah kelompok orang berjenis kelamin “khusus”,
yaitu yang sering disebut waria
(banci) dan gay. Dede Oetomo
(Sumarsono, 2007: 130) menyebutkan bahwa bahasa waria atau wadam (wanita
Adam) tersebut termasuk “bahasa rahasia”. Dede meneliti waria dan gay di Surabaya
dan menyimpulkan bahwa waria biasanya
merupakan kelas “bawah”, yang memiliki orientsi lebih banyak ke bahasa Jawa
daripada bahasa Indonesia. Di lain pihak, gay
berasal dari golongan kelas menengah di kota, dan orientasinya pada bahasa
Indonesia . Akan tetapi, kaum gay juga
menggunakan bahasa Jawa. Oleh karena itu, menurut Dede, gay itu dwibahasawan.
D. Usia
Usia merupakan variasi sosial pengguna bahasa yang membedakan kelompok
manusia. Dalam kelompok ini manusia dkelompokkan menjadi tiga, yakni kelompok
kanak-kanak, kelompok remaja, dan kelompok dewasa.
1. Kelompok anak-anak
Kanak-kanak
adalah usia yang paling tepat untuk mengembangkan bahasa. Karena pada masa ini
sering disebut masa “golden age” dimana anak sangat peka mendapatkan
rangsangan-rangsangan baik yang berkaitan dengan aspek fisik motorik,
intelektual, sosial, emosi maupun bahasa. Menurut Sumarsono (2007:137), anak
mulai belajar berbicara pada usia kurang lebih 18 bulan, sehingga seorang anak
dapat dikatakan dapat menguasai tata bahasa ketika dia berusia kurang lebih
tiga setengah tahun. Pada masa perkembangan bahasa anak-anak ini mempunyai ciri
penyusutan (reduksi). Dalam hal ini tata bahasa atau pengetahuan bahasa anak
yang terdiri dari tiga komponen, yakni: fonologi, sintaksis dan semantik.
- Fonologi merupakan bunyi-bunyi bahasa sebagai satuan terkecil dari
ujaran beserta dengan “gabungan” antarbunyi yang membentuk silabel atau
suku kata, seperti: memanggil kata “mama”, “bu” “Susu” menjadi
“cucu”
- Sintaksis adalah ilmu yang membahas tentang bagaimana menggabungkan kata dalam bentuk kalimat. Dalam hal ini anak memulai berbahasa dengan mengucapkan satu kata (atau bagian kata). Kata ini, bagi anak sebenarnya adalah kalimat penuh, tetapi karena dia belum dapat mengatakan lebih dari satu kata, dia hanya mengambil satu kata dari seluruh kalimat. Seperti: “Ma, pis” (seorang anak ingin mengatakan kepada mamanya kalau dia ingin buang air kecil.
3. Semantik adalah ilmu yang membahas tentang arti
suatu kata. Dalam hal ini adalah arti kata yang diucapkan oleh seorang anak. seperti: “Mama uwah” (seorang anak ingin
mengatakan kepada ibunya kalau makanannya pedas).
2. Kelompok remaja
Masa
remaja merupakan masa yang paling menarik dan paling mengesankan. Masa remaja
identik dengan pencarian jati diri, petualangan, dan kenakalan. Ciri-ciri
tersebut juga tercermin dalam bahasa mereka. Keinginan untuk membuat kelompok
eksklusif menyebabkan mereka menciptakan bahasa yang hanya berlaku bagi
kelompok mereka.
Menurut Sumarsono (2007:
153), salah satu tutur remaja yang khas dan muncul di Jakarta adalah apa yang
disebut bahasa prokem. Meskipun bahasa prokem itu sekarang dikatakan menjadi
milik remaja di Jakarta, pencipta aslinya adalah kaum pencoleng, pencopet, bandit,
dan sebangsanya; yang sekarang dikenal dengan istilah preman. Beberapa contoh
kosakata dari bahasa prokem itu, antara lain amsyong (celaka, hancur); gout
atau ogut (saya); ji (kamu).
3. Kelompok dewasa
Masa
dewasa merupakan salah satu fase dalam rentang kehidupan individu setelah masa
remaja,
yang mana biasanya pada masa ini merupakan puncak pertumbuhan fisik yang prima,
sehingga dapat dianggap sebagai usia yang tersehat dari populasi manusia secara
keseluruhan. Pada masa ini individu mampu berpikir demokratis, bijaksana, dan bertanggungjawab.
Hal ini sesuai dengan penelitian Yayah melalui Sumarsono
(2007:161) yang mana meneliti seorang guru bahasa Indonesia di Jakarta yang berusia
dibawah dan diatas 30 tahun. Dimana
hasil dari penelitian tersebut, guru yang berusia diatas 30 tahun mempunyai
sikap yang positif daripada gru yang berusia dibawah 30 tahun.
Senada dengan penelitian diatas, Yenny melalui Sumarsono
(2007 162) yang meneliti penggunaan bahasa sehari-hari dirumah pada masyarakat
Jawa di Jakarta yang berusia diatas dan dibawah 50 tahun, yang mana hasil
penelitian tersebut masyarakat Jawa yang berusia diatas 50 tahun cenderung
memakai bahasa Jawa untuk digunakan sebagai bahasa sehari-hari dirumah dari
pada yang berusia dibawah 50 tahun.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan:
1. Status
sosial memiliki dampak pada penggunaan bentuk-bentuk prestige suatu bahasa. Semakin rendah kelas sosial seseorang,
semakin banyak pemakaian bentuk nonbaku dari suatu bahasa.
2. Ada tiga istilah untuk
menyebut bagian-bagian pada kontinum creole,
yaitu akrolek, basilek, dan mesolek.
3. Laki-laki dan perempuan
memiliki cara berbeda dalam berbahasa.
4. Variasi pengguna bahasa
ditinjau dari segi usia dapat dilihat dari rentang kanak-kanak, remaja, dan
dewasa.
DAFTAR PUSTAKA
Brown, S. &
Attardo, S. 2000.Understanding Language
Structure, Interaction, and Variation. An Introduction to Applied Linguistics
and Sociolinguistics for Nonspecialists. Michigan: The University of
Michigan Press.
Kartomihardjo, Suseno. 1988. Bahasa Cermin Kehidupan Masyarakat. Jakarta: P2LPTK.
Kridalaksana,
Harimurti. 2001. Kamus Linguistik.
Jakarta: Gramedia
Milroy, J. & Milroy, L. 1998. The Handbook of Sociolinguistics. Ed. Florian Coulmas. Blackwell Reference Online.
Milroy, J. & Milroy, L. 1998. The Handbook of Sociolinguistics. Ed. Florian Coulmas. Blackwell Reference Online.
Ratnaningsih, E. &
Ulul, A. 2013. Variasi Sosial Pengguna
Bahasa (Status Sosial, Gender dan Usia). Yogyakarta: UNY
Sumarsono.
2007. Sosiolinguistik. Yogyakarta:
Sabda dan Pustaka Pelajar.
Wardhaugh, Ronald. 2006. An Introduction to Sociolinguistics. New
York: Basil Blackwell Inc.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar